Thursday, September 18, 2008

Mendamba malam yang penuh berkah (Lailatul Qadr)

Ketika Ramadhan sampai pada sepuluh malam terakhir, yaitu pada itqun min al-nar, bebas dari api neraka, Allah Ta'ala berkenan menganugerahkan bonus istimewa berupa Lailatul Qadr. Namun, malam yang "lebih baik dari seribu bulan " itu tetap misterius.
Tak terasa, bulan Ramadhan telah memasuki periode pa­mungkas. Periode rahmah dan maghfirah telah berge­ser menuju sepuluh malam terakhir, yaitu itqun min al-nar, bebas dari api neraka. Pada saat inilah Allah Ta'ala berkenan menganugerahkan bonus istimewa bagi hamba-hamba-Nya yang khusyu' dalam beribadah puasa, yakni Lailatul Qadr.
Dalam AI-Quran disebutkan, di "ma­lam yang lebih baik daripada seribu bulan" yang juga disebut sebagai "Malam Kemuliaan" itu Allah Ta'ala menurunkan kitab suci AI-Quran dari Lauh Al-Mahfuzh ke Bait AI-Izzah di langit dunia. Kala itu,rahmat dan ampunan Allah Ta'ala turun berlimpah ruah, dan setiap amal shalih diganjar dengan pahala berlipat ganda. Bahkan kadarnya lebih balk daripada beribadah selama seribu bulan.
Kala itu pula, kaum mukmin yang khusyu' beribadah mendapat salam dan doa dari Malaikat Jibril dan ribuan malaikat lain yang turun ke bumi secara bergelombang hingga terbit fajar. Orang-orang shalih yang mendapat Lailatul Qadr akan senantiasa dalam keadaan salam (aman dan damai) sampai fajar, bahkan sampai terbitnya fajar kehidupan yang baru kelak di kemudian hari. Sub-hanalah!

Penyucian Jiwa
Karena keluarbiasaan Lailatul Qadr itulah, kaum muslimin termotivasi untuk beribadah dengan sekuat tenaga, ber­lomba-lomba mendapatkannya. Namun hanya sedikit di antara mereka yang me­nemukannya. Di antara yang sedikit itu adalah Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily, pendiri Thariqat Syadziliyyah, yang ke­waliannya disepakati oleh jumhur ulama di seluruh dunia.
Dalam kitab Amaliyah Ramadhan, karya K.H. Zain Abdul Shomad alias Aang Gentur (Cianjur, Jawa Barat), disebutkan, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily menga­takan, "Sejak menginjak baligh hingga sekarang (ketika itu Syaikh Abul Hasan masih hidup) aku belum pemah luput da­ri Lailatul Qadr:"
Berdasarkan pengalaman Syaikh Syadzily tersebut, Aang Gentur menyim­pulkan, jika tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, Lailatul Qadr akan jatuh pada malam 29 Ramadhan. Jika tanggal 1 Ramadhan jatuh had Se­nin, Lailatul Qadr akan jatuh pada malam 21 Ramadhan. Dan jika tanggal 1 Rama­dhan jatuh pada Selasa, Lailatul Qadr akan jatuh pada malam 27 Ramadhan. Dan jika tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Kamis, Malam Kemuliaan itu hadir pada malam 25 Ramadhan. Sedangkan jika tanggal 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu, Lailatul Qadr muncul pada malam 23 Ramadhan.
Lantas, bagaimana agar kita menda­patkan Lailatul Qadr? Menurut Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily, kaifiatnya ialah dengan memperbanyak dzikir, shalawat, beramal shalih, dan bertaubat, yang se­muanya bermuara pada upaya penyuci­an jiwa.
Adapun doa yang dianjurkan dibaca ialah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada istri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA, yaitu, "Allahumma innaka 'afuwwun karim, tuhibbul 'afwa fa'fu 'anna, ya Karim (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengampun lagi Mahamulia, Dzat yang suka memberi maaf dan ampunan, maka ampunilah kami):'
Kemudian bacalah dzikir Lailaha illallah wahdahu la syarikalah, lahul mul­-ku wa lahul hamdu yuhyi wa yimitu wahu­a ’ala kulli syai-in qadir (400 kali). dan tasbih Sub-hanallah wa biham­di sub-hanallahil 'azhim, astagfirullah. Selain itu, sangat dianjurkan untuk memperbanyak taubat, membaca shalawat, dan amal ibadah lainnya.
Meskipun perhitungan untuk tanggal Lailatul Qadar tersebut berdasarkan pengalaman Syaikh Syadzily, itu bukan merupakan pedoman yang seratus per­sen pasti tepat. Namun, karena perhitungan tersebut berasal dari pengalaman ruhaniah seorang wali besar, dapatlah kiranya dijadikan acuan untuk mendapat­kan Lailatul Qadr.
Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzily, yang nama lengkapnya Asy-Syarif Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar, adalah wali­yullah pendiri Thariqah Syadziliyyah, yang sangat berpengaruh dengan jumlah pengikut puluhan juta orang, tersebar di berbagai negara.

Mengharap berkah Lailatul Qadr

Sejak kecil, Syaikh Syadzily sudah di­kenal sebagai santri yang berakhlaq amat mulia. Tutur katanya yang fasih dan halus serta indah dan santun, mengan­dung makna dan hikmah yang sangat da­lam. Selain dikenal shalih, Syaikh Sya­dzily juga tergolong ulama yang tekun menuntut ilmu agama. Di desa kelahir­annya, Ghomaroh (Maroko), ia mendapat tempaan pendidikan dan akhlaq serta il­mu agama langsung dari kedua orangtua­nya.
Setelah tinggal di Ghomaroh sampai usia enam tahun, Syaikh Syadzily hijrah ke Tunis (kini ibu kota Tunisia) untuk lebih memperdalam ilmu-ilmu agama. Di sana­lah ia bertemu sejumlah guru besar yang mendidiknya sehingga ia semakin terta­rik untuk khusyu' beribadah, mendekat­kan diri kepada Allah Ta'ala. Bisa dimak­lumi jika di usia yang baru saja baligh, ia sudah mendapatkan Lailatul Qadr. Se­bab, ia memang senantiasa mempersiap­kan diri dan jiwa untuk menerima Malam Seribu Bulan itu.
Sebagaimana diungkapkan oleh para ulama, sosok yang mendapatkan Lailatul Qadr akan senantiasa merasa salam (aman dan damai), bahkan rasa salam itu juga akan menyebar dan mem­pengaruhi orang-orang di sekitarnya. Hal itu terbukti, kepribadian Syadzily sangat berpengaruh terhadap kehidupan spirit­ual kaum muslimin di berbagai belahan bumi.

Khusus Umat Nabi Muhammad

Lailatul Qadr, yang nilainya sama de­ngan atau bahkan melebihi seribu bulan alias 83 tahun plus empat bulan, sungguh penuh berkah dan rahmah. tstimewanya, Malam Kemuliaan ini hanyalah khusus untuk umat Muhammad SAW, sebagai­mana dikisahkan oleh Maulana Muham­ad Zakariyya Al-Khandahlawi dalam kitabnya, Fadhailul A’mal.

Suatu hari Rasulullah SAW termenung menyaksikan nasib umatnya yang rata-rata mempunyai usia pendek. Karena usia pendek itulah, kaum muslimin sulit menandingi umat lain (yang rata rata berusia panjang) dalam beramal shalih. Maka untuk menghibur hati Rasulullah SAW ,Allah Ta’ala menganugerahkan Lailatul Qadr kepada umatnya. Jika seorang hamba mendapat anugerah Allah Ta'ala berupa kesempatan beriba­dah pada 10 malam terakhir di bulan Ra­madhan, dan mendapat keberkahan Lai­latul Qadr, ia seolah-olah telah beribadah selama seribu bulan.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasul­ullah SAW bercerita mengenai seorang lelaki dari Bani Israil yang menghabiskan hidupnya untuk berjihad selama seribu bulan.
Mendengar kisah itu, para sahabat "cemburu", karena mereka merasa tidak mungkin dapat mencapai prestasi seperti itu. Maka Allah Ta'ala pun kemudian ber­kenan menganugerahkan Lailatul Qadr.
Rasulullah SAW pernah menyebut empat orang lelaki dari Bani Israil yang menghabiskan hidup mereka untuk ber­ibadah kepada Allah Ta'ala selama 80 tahun berturut-turut tanpa pernah ingkar sedikit pun. Mereka itu ialah Nabi Ayub AS, Nabi Zakariya AS, Nabi Hizkiel AS, dan Nabi Yusak AS.
Mendengar kisah itu, para sahabat takjub, lalu Malaikat Jibril membacakan surah Al-Qadr, yang menyebutkan keber­kahan malam yang sangat istimewa itu.
Masih banyak lagi riwayat yang meng­ungkapkan sebab-musabab turunnya Lailatul Qadr, anugerah Allah Ta'ala khu­sus bagi hamba-hamba-Nya umat Nabi Muhammad yang shalih.

Titik Tolak Segala Kemuliaan

Secara harfiah, Lailatul Qadr artinya "malam penentuan:' Tapi, para ulama ahli tafsir lazim menyebutnya sebagai "malam yang agung" atau "malam kemuliaan", sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Qadr ayat pertama.
Sementara' kata qadr mengandung tiga makna. Pertama, "penetapan dan pengaturan", sehingga Lailatul Qadr di­pahami sebagai malam penetapan Allah Ta'ala bagi perjalanan hidu'p manusia. Maksudnya, dipahami bahwa AI-Quran turun pada malam itu, dan karenanya Allah Ta'ala mengatur dan menetapkan khiththah manusia.
Kedua, kata qadr juga bisa diartikan "sempit'. Malam yang penuh berkah itu menjadi sempit, karena banyaknya jum­lah malaikat yang turun ke bumi, sebagai­mana terungkap dalam surah Al-Qadr ayat 4, "Pada malam itu turunlah para ma­laikat dan Malaikat Jibril dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan"
Ketiga, kata qadr bisa bermakna ke­muliaan. Malam itu adalah malam yang sungguh mulia, karena Allah Ta'ala sa­ngat memuliakannya. Allah Ta'ala juga memilihnya sebagai malam saat turunnya Al-Quran, sebagaimana disebut dalam surah Al-Qadr ayat 1, "Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan."
Mengenai turunnya AI-Quran itu, da­lam kitab tafsirnya, ahli tafsir yang sangat terkenal, Ibnu Katsir, menjelaskan, kala itu Allah Ta'ala menurunkan Al-Quran dari Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-lzzah di langit dunia, lalu berangsur-angsur diwahyukan kepada Rasulullah SAW dalam jangka waktu 23 tahun. Sementara menurut Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsir AI-Mishbah, Lailatul Qadr menjadi mulia karena pada malam itu Al-Quran diturunkan.
Karena sifat mulia malam yang isti­mewa itulah, Lailatul Qadr juga menjadi titik tolak segala kemuliaan yang dapat diraih oleh kaum shalihin. Nilai ganjaran amal ibadah yang ditunaikan pada ma­lam itu lebih utama daripada amal ibadah yang dikerjakan selama seribu bulan, sebagaimana ditegaskar dalam surah Al-Qadr ayat ayat 3, "Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.”
Dalam pada itu, hamba malam itu bertaubat, dosa-dosanya dihapuskan oleh Allah Ta’ala ,sebagaimana sabda Rasulullah SAW ” Barang siapa shalat di Malam Qadr karena sungguh-sungguh beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, atas dosa-dosanya yang telah lalu (HR Bukhari dan Muslim).
Malam itu sungguh merupakan malam yang berlimpah rahmat. Saking berlimpah ruahnya rahmat luar biasa itu, Jibril dan para mailakat pun turun ke bumi, mengengelilingi halaqah-halaqah dzikir, lalu menghamparkan sayap-sayap mereka bagi hamba Allah yang khusyu' beribadah sebagai penghormatan bagi mereka. Para malaikat itu turun, lewat di depan para hamba Allah yang sedang shalat di malam Qadr, sambil terus-menerus mengucapkan salam kepada mereka, sampai terbit fajar.

Lailatul Qadr Pertama
Sungguh sangatlah beruntung para hamba Allah yang beribadah di malam itu. Lebih beruntung lagi ialah para hamba Allah yang mendapat keutamaan dan keberkahan Lailatul Qadr. Menurut Quraish Shihab dalam karyanya, Wawasan Al- Quran, orang yang mendapatkan Lailatul Qadr akan senantiasa dikawal oleh malaikat. Jiwanya akan selalu terdorong untuk melakukan kebajikan, sementara ia selalu merasakan aman dan damai. Rasa aman dan damai itu tak terbatas sampai fajar, tapi sampai terbitnya fajar kehidupan yang baru di kelak kemudian hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surah Al-Qadar ayat 4 dan 5, "Pada malam itu turun para malaikat dan Jibril dengan izin Allah untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kedamaian dan kese­jahteraan sampai terbit fajar."
Perasaan aman dan damai itu pernah dialami oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika beliau sedang bertahannuts di Gua Hira, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, sambil merenungkan kondisi masyarakat di sekelilingnya yang penuh kemusyrik­an. Ketika jiwa Rasulullah SAW telah mencapai tingkat kesucian, turunlah Jibril membawa ajaran Allah Ta'ala dan mem­bimbing beliau, sehingga terjadilah peru­bahan total dalam hidup beliau, yang mempengaruhi perjalanan hidup sege­nap umat manusia.
Itulah Lailatul Qadr pertama yang di­temui atau menemui Rasulullah SAW. Dan sebagai pemimpin yang sangat me­nyayangi umat, beliau pun menganjurkan umatnya untuk memburu Lailatul Qadr. Bahkan dianjurkannya pula agar orang yang merasa lemah sekalipun tidak me­lewatkan pencarian Lailatul Qadr, yang diyakini turun pada tujuh hari terakhir bu­lan Ramadhan.
Sabda Rasulullah SAW, "Carilah Lai­latul Qadr di malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda, "Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir. Jika kalian tidak mampu, janganlah sam­pai terluput tujuh hari sisanya." (HR Bukhari dan Muslim).
Maka sudah selayaknya para hamba Allah yang mukmin mempersiapkan dan melengkapi diri dengan amal shalih, un­tuk memburu Lailatul Qadr.
Meskipun Syaikh Syadzily sudah mencoba menghitung kemungkinan tu­runnya Lailatul Qadr pada malam terten­tu, hingga kini turunnya malam yang mulia dan penuh berkah itu tidak diketahui de­ngan pasti. Karena itu, para ulama pun tidak pernah menyepakati kepastian saat turunnya Lailatul Qadr. Dalam kitab Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar, ada 40 pen­dapat yang saling berbeda mengenai saat turunnya Lailatul Qadr., Bahkan Ra­sulullah SAW sendiri, sebagaimana di­sebut di atas, hanya memberikan ancar ­ancar.Yaitu, di malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Mengapa Sepuluh Hari Terakhir
Dalam kitab Fadhailul A'mal dikisah­kan, suatu hari sahabat Abu Dzar berta­nya kepada Rasulullah SAW, "Apakah Lailatul Qadr itu hanya dikhususkan pada zaman Rasulullah SAW, ataukah akan berlangsung setelahnya?"
"Malam Qadr itu akan berlangsung hingga hari kiamat," jawab Rasulullah.
"Di bagian manakah dalam bulan Ra­madhan Lailatul Qadr akan turun?"
"Carilah pada sepuluh malam yang pertama dan sepuluh malam yang ter­akhir;" jawab Rasulullah SAW lagi.
Beberapa saat kemudian, sahabat Abu Dzar bertanya lagi, "Di malam yang mana di antara sepuluh hari itu Lailatul Qadr turun?"
Pertanyaan ini membuat Rasulullah SAW agak gusar, lalu beliau bersabda, "Lailatul Qadr itu tersembunyi dariku, baik sebelum maupun sesudahnya. Jika Allah SWT berkehendak memberitahukannya, Dia akan memberitahukannya. Carilah pada tujuh hari terakhir, dan setelah itu kamu jangan bertanya lagi.
Dalam sebuah hadits riwayat Ubadah bin Shamit RA dikisahkan, suatu malam Rasulullah SAW keluar rumah untuk men­jelaskan datangnya Lailatul Qadr. Ketika itu ada dua orang sahabat yang sedang berdebat tentang Malam Kemuliaan itu.
Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Aku keluar untuk mengabarkan ke­pada kalian tentang Lailatul Qadr, tapi ada dua orang berdebat sehingga tak bisa lagi diketahui kapan turunnya Lailatul Qadr. Mungkin ini lebih baik bagi kalian . Carilah di malam 29,27, dan 25,” (HR Bukhari).
Selain memberi tahu datangnya lailatul Qadr di malam malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramashan, Rasulullah SAW juga memberi teladan betapa beliau senantiasa memburu lailatul Qadr dengan beri'tikaf di masjid,terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Ketika saat itu tiba, beliau membangunkan keluarga dan mengencangkan ikatan sarungnya,lalu beribadah, sebagaimana dikisahkan dalam beberapa hadits shahih.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah RA. "Ketika masuk sepuluh hari buIan Ramadhan, Rasulullah SAW ’menghidupkan” malam dengan membangunkan keluarga dan mengencangkan sarung. Beliau lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir melebihi hari-hari lainnya:' (HR Muslim).
Sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sengaja dipilih bukan tanpa alasan. Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran, pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan sebagai penyucian jiwa, diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa selama 20 hari telah mencapai tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam yang mulia itu berkenan menghampirinya.
Oleh karena itu wajar jika Lailatul Qadr tidak akan mendatangi orang yang tidak siap menerimanya. Malam yang penuh berkah itu akan menghampiri hamba Allah yang sudah mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa untuk menyambutnya. Jika jiwa telah siap, kesadaran telah bersemi, insya Allah Lailatul Qadr akan datang menghampirinya.

Hikmah Tersendiri
Misteri Lailatul Qadr memang me­rupakan hikmah tersendiri. Maksudnya, agar hamba Allah yang shalih benar-be­nar berusaha dan memaksimalkan po­tensi pribadinya untuk beribadah, berdoa, dan berdzikir selama sepuluh hari ter­akhir. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar menulis, jika tanggal kedatangan Lailatul Qadr sudah dipatok, dikhawatirkan kaum muslimin hanya akan memfokuskan iba­dah pada hari tersebut dan meremehkan hari-hari lainnya.
Penjelasan Imam Fakhrurrazi seputar hikmah kerahasian Lailatul Qadr sangat menarik. Menurutnya, Allah Ta'ala senga­ja menyembunyikan keridhaan-Nya pa­da setiap ketaatan, sehingga timbul ke­inginan untuk melakukan seluruh ketaat­an dan ibadah. Sebab, kita tidak tahu dari ibadah yang manakah Allah Ta'ala ber­kenan menganugerahkan keridhaan­Nya kepada kita.
Demikian pula, Allah Ta'ala menyem­bunyikan murka-Nya pada setiap perkara maksiat, agar kita berhati-hati dan men­jauhi semua maksiat, sekecil apa pun, karena kita tidak tahu dari maksiat mana murka Allah Ta'ala akan datang.
Dia juga menyembunyikan para wali­Nya, agar manusia tidak terlalu bergan­tung kepada mereka dalam berdoa, se­baiknya berusaha berdoa sendiri dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Dia juga menyembunyikan waktu dikabul­kannya doa pada hari Jum'at, supaya kita berusaha meraihnya di sepanjang hari itu. Begitu pula Allah Ta'ala menyem­bunyikan penerimaan taubat dan amalan hamba-Nya, supaya kita senantiasa isti­qamah dan ikhlas dalam beramal, dan senantiasa bersegera dalam bertaubat.
Dia pun memiliki 99 nama yang indah alias Asmaul Husna, tanpa melebihkan satu di antara yang lain. Sehingga ketika Rasulullah SAW bersabda "Barang siapa menghafal dan mengimaninya akan ma­suk surga", kita pun terpacu untuk meng­hafal seluruh 99 nama Allah Ta'ala yang indah tersebut.
Demikian pula dengan misteri Lailatul Qadr. Allah Ta'ala tidak menentukan tang­gal yang persis, agar kita mengagungkan dan menghidupkan seluruh malam Ra­madhan dan mendekatkan diri kepada­Nya.
Meskipun demikian, Allah Ta'ala Maha Bijaksama. Dengan rahmat-Nya, Dia bimbing Rasul-Nya untuk menjelas­kan ancar-ancar malam-malam yang le­bih dekat kepada turunnya Lailatul Qadr, yaitu sepuluh hari terakhir di bulan Rama­dhan.
Marilah kita berlomba-lomba mem­buru keberkahan malam yang "lebih baik daripada seribu bulan" itu.

No comments: