Friday, December 5, 2008

Shalat Idul Adha

Shalat `Idul Adha, sebagaimana juga shalat `Idul Fitri, menurut jumhur Ulama, hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) bagi orang yang wajib melakukan shalat Jum'at. Pertama kali shalat ini dilakukan oleh Rasulullah SAW pada tahun kedua Hijriah dan be­liau terus melakukannya sampai berpu­lang ke rahmatullah. Dan sunnah menu­naikannya secara berjamaah.
Boleh juga mengerjakannya sendiri, tapi itu kurang utama. Sekurang-kurangnya berjamaah adalah dua orang, yakni imam dan mak­mum. Tetap disunnahkan dua khutbah bagi orang yang melakukannya dengan berjamaah meskipun hanya berdua.

Menurut para ulama Madzhab Syafi'i, shalat 'Id lebih utama dikerjakan di masjid, karena merupakan tempat yang termulia. Tetapi para ulama di luar Madzhab Syafi'i pada umumnya berpen­dapat, shalat `Id lebih utama dilakukan di tanah lapang yang luas dan suci, agar suara takbir membahana.
Ketika pergi ke tanah lapang atau ke masjid untuk menunaikan shalat `Idul Adha, disunnahkan kita berjalan kaki seraya mengucapkan takbir dengan nya­ring dan terus-menerus. Selain itu, yang utama menurut sunnah, kita pergi dan kembali dari shalat `Id tidak melalui jalan yang sama.

Sebelum melakukan shalat `Idul Adha, disunnahkan kita tidak makan apa-apa. Berbeda dengan ketika akan pergi shalat 'Idul Fitri, kita disunnahkan makan sedikit terlebih dahulu. Dan amat disukai pula kita mandi dan memakai wangi-wangian pada pagi hari raya ini serta memakai pakaian terbaik yang kita miliki. AI-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah SAW. meriwayatkan. "Pada setiap hari raya. Rasulullah SAW menyuruh kami agar mengenakan pakai­an terbaik yang kami miliki, memakai min-yak wangi terbaik yang kami punyai, dan menyembelih hewan qurban termahal yang kami mampu sediakan.
Disunnahkan pula mengajak kaum pe­rempuan, yang dewasa maupun yang masih remaja, telah bersuami maupun yang masih gadis, demikian pula anak ­anak, untuk menghadiri shalat hari Raya. Bahkan, perempuan yang sedang haid dianjurkan juga untuk hadir untuk men­dengarkan khutbah. Tetapi jika pelak­sanaannya di dalam masjid, perempuan yang sedang haid itu harus mencari tempat tersendiri, tidak masuk ke dalam masjid.
Selain itu, kaum perempuan yang akan melakukan shalat `Id itu sebaiknva memakai pakaian yang tidak berlebihan, tidak berdandan secara mencolok, dan tidak memakai wangi-wangian yang kuat aromanya, karena akan menjadikan mereka aebagai sumber fitnah (godaan). Artinya, kaum laki-laki akan tergoda oleh penampilan yang demikian dan mungkin juga akan menggoda, sehingga merugi­ kan kedua pihak.
Shalat `Idul Adha dikerjakan dua ra­kaat seperti shalat yang lain dan tidak ada shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Kecuali apabila dilakukan di masjid, tetap disunnahkan melakukan shalat Tahiyatul masjid sebelum duduk.

Pada shalat `Idul Adha dan `Idul Fitri tidak ada adzan dan iqamah, karena hal itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah, ia mengatakan, "Aku pernah melakukan shalat `Id bersama Nabi SAW, bukan hanya sekali-dua kali, tanpa adzan dan iqamah." (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi).
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dan Jabir,” belum pernah dilakukan adzan dan iqamah pada hari `Idul Fitri dan `Idul Adha." (HR Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim).
Pada setiap rakaat sebelum membaca surah Al-Fatihah, kita disunnahkan membaca beberapa takbir tambahan. Pada rakaat pertama, kita membaca tujuh kali takbir - selain takbiratul ihram - setelah membaca doa Iftitah. Dan pada rakaat kedua, membaca lima kali takbir, selain takbir ketika bangkit dari sujud.

Mengenai apa yang dibaca di antara satu takbir dan takbir lainnya, ada bebe­rapa pendapat sebagaimana yang diurai­kan oleh An-Nawawi dalam kitabnya, al­-Adzkar. Menurut mayoritas ulama, kita disunnahkan mengucapkan kalimat berikut:

Subhanallahi wal-hamdu lillahi wa la ilaha illallahu wallahu akbar.
La ilaha illallahu wahdahu la syarika lah, lahul-mulku wa lahul-hamdu bi yadihil-khair, wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir.

"Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu apa pun bagi-Nya. Bagi-Nya-lah kerajaan (kekuasa­an) dan bagi-Nya jualah segala pujian. Di tangan-Nya semua kebaikan. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."

Ada pula yang mengatakan bahwa yang dibaca adalah kalimat berikut:

Allahu akbar kabira. wal-hamdu lillahi katsira, wa subhanallahi bukrataw-wa ashila.

"Allah Mahabesar, besar sekali. Segala puji milik Allah, sungguh banyak sekali. Mahasuci Allah, baik di pagi hari maupun di petang hari

Kita dapat memilih bacaan yang mana saja di antara bacaan-bacaan di atas. Se­andainya semua bacaan tersebut tidak dibaca, bahkan bila takbir-takbir tambah­an itu juga tidak dibaca, shalatnya tetap sah dan tidak perlu melakukan sujud sahwi. Hanya saja ia tidak mendapatkan keutamaan. Jika imam lupa membaca takbir-takbir itu sampai membaca Al-­Fatihah, menurut pendapat yang shahih, ia tidak perlu mengulangi untuk mem­baca takbir-takbir itu. Sedangkan bagi makmum yang ketinggalan, jika imam sudah membaca beberapa kali takbir, ikutilah takbir yang diucapkan imam, tidak perlu diulangi yang tertinggal.

Mengenai surah yang dibaca, disukai sesudah membaca Al-Fatihah kita mem­baca surah. Al-A’la dalam rakaat yang per­tama_,Dan di rakaat yang kedua sesudah Al-Fatihah, membaca surah Al-Ghasyiyah.
Sedangkan di dalam khutbahnya, khathib disunnahkan membaca takbir ,Sembilan kali di awal khutbah yang per­tama dan kemudian membaca takbir tujuh kali di awal khutbah yang kedua. Jadi sama dengan yang dilakukan ketika khutbah `Idul Fitri. Dan sangat baik khutbah itu di akhiri dengan firman Allah.

Subhana rabbika rabbil-'izzati `amma yashifuna wa salamun `alal-mursalina wal­hamdu lilahi rabbil-'alamin.

"Mahasuci Tuhan-Mu, yang mempunyai kebesaran dari apa yang mereka sifatkan, dan kesejahteraan itu atas para rasul, se­dangkan segala pujian itu merupakan milik Allah, yang memelihara seluruh alam."

Apabila seseorang tidak dapat pergi berjamaah shalat 'Id karena sakit atau ada halangan lain, hendaklah ia me­ngerjakan shalat sendiri dua rakaat juga. AL-Bukhari mengatakan, "Apabila sese­orang tidak mendapatkan shalat `Id ber­sama jamaah, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat juga. Demikian pula orang-orang perempuan (maksudnya, yang tak dapat melakukannya karena suatu keperluan) dan orang di padang gurun, mengingat sabda Nabi SAW, `Ini adalah hari raya kita, umat Islam'."

Bacaan pada Hari Raya

Di dalam kitab Al- Wasail Asy-Syafi'ah fi Al-Adzkar wa Al-Ad'iyyah li AI-Asbab Al-Waqi'ah halaman 215-216, karya Habib Muhammad bin Ali Khird, disebutkan, di antara doa yang dapat dibaca pada hari raya, baik 'Idul Fitri maupun 'Idul Adha, adalah doa ini:

Allahumma inni as-aluka 'aysyatan taqiy­yatan wa maytatan sawiyyatan wa marad­-dan ghayra makhzin wala fadhih. Allahumma la tuhlikna faj-atan wala ta'khudzna bagh­tatan wala tu’jilna 'an haqqin wa washiyyah. Allahumma inna nas-alukal-'afafa wal-ghina wat-tuqa wal-huda wa husna `aqibatil-­akhirati wal-ula, wa na'udzu bika minasy­syakki wasy-syiqaqi war-riya-i was-sum`ati fi dinika ya muqallibal-qulub (Rabbana la tuzigh qulubana ba'da idz hadaytana wa hab lana min ladunka rahmah. Innaka antal­wahhab).

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kehidupan yang bertaqwa, kematian yang benar, dan kepulangan yang tidak dibuat malu dan tidak terbuka aibnya.
Ya Allah, janganlah Engkau binasakan kami dengan tiba-tiba. dan janganlah Engkau cabut kami dan kebenaran dan nasihat. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu sifat iffah (suka menjaga diri), kekayaan, ketaqwaan, petunjuk, dan akhir yang baik di dunia dan di akhirat. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keraguan, per­tikaian, riya', dan sum'ah (melakukan se­suatu karma ingin didengar orang) dalam agama-Mu, wahai Dzat Yang membolak ­balikkan hati (Ya Tuhan kami, janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu. Se­sungguhnya Engkau Maha Pemberi anugerah).”

Dalam kitab itu juga disebutkan bah­wa Umar bin Abdul Aziz mengatakan, 'Bacalah pada hari raya (baik 'Idul Fitri maupun `Idul Adha ) sebagaimana yang diucapkan oleh nenek moyang kalian. Nabi Adam AS:

Rabbana zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal-khasirin (OS AI-A'raf: 23)."

"Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak meng­ampuni kami dan menyayangi Kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi:"

Faghfirlana warhamna wa anta khayrur-rahimin (QS Al-Mu'minun: 109).

”Maka ampunilah kami, dan berilah kami rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik.”

Walladzi athma`u an yaghfirali khathi'ati yawmaddina (QS Asy-Syu'ara': 82).

"Dan yang amat kuinginkan akan menghapuskan kesalahanku pada hari kiamat."

Juga sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Musa AS:

Qala rabbi inni zhalamtu nafsi faghfirli faghafara lahu, innahu huwal-ghafururrahim (QS Al-Qashash:16)

"Musa berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguh­nya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.' Maka Allah mengampuninya. Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.­

Juga sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Yunus AS:

La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin (QS Al-Anbiya: 87)

”Tidak ada Tuhan selain Engkau.Maha suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.”

No comments: